Bangkitnya Persekutuan Nista
Oleh Reza A.A Wattimena
Jika keadaan tak berubah, pilpres 2024 di Indonesia akan penuh drama. Salah satu penyebabnya adalah bangkitnya persekutuan nista di dalam politik Indonesia. Ada pelaku pelanggaran HAM berat yang terus bernafsu untuk berkuasa. Ia bersekutu dengan bocah ingusan yang haus kekuasaan dan berkhianat pada pendukungnya sendiri.
Nista berarti cela. Persekutuan nista adalah persekutuan yang tercela. Ia membuat orang merasa jijik. Ia membuat politik Indonesia menjadi kacau dan rusak.
Si pelaku pelanggaran HAM berat terus merasa tak tahu malu. Sudah berkali-kali, ia kalah. Sudah berkali-kali pula ia membuat ulah yang mengacaukan keadaan. Sayangnya, karena bodoh, para pendukungnya tetap buta, dan terus mendukungnya.
Si bocah ingusan juga tak tahu malu. Ia pandai memoles diri di media sosial. Ia didukung oleh kekuasaan sang ayah yang juga sama tak tahu malunya. Banyak orang, termasuk saya, sangat kecewa dengan sepak terjangnya yang juga nista.
Politik Indonesia pun seperti kehilangan harapan. Tokoh sehebat Goenawan Mohamad pun menangis melihatnya. Saya ikut menangis bersama dia. Ikan membusuk mulai dari kepalanya. Indonesia sudah membusuk, karena pemimpinnya yang sudah terlebih dahulu busuk.
Ada sembilan hal yang kiranya perlu diperhatikan.
Pertama, demokrasi Indonesia menurun mutunya. Kebohongan kembali menjadi warna utamanya. Sang pemimpin dijajah nafsu berkuasa yang menjijikan. Manuver politik dilakukannya, sehingga merusak segi-segi kepastian hukum sekaligus suasana demokrasi yang telah diperjuangkan sejak lama.
Dua, politik pun kembali menjadi nista. Tidak ada pendidikan politik. Politik di Indonesia kembali sama dan serupa dengan kerakusan serta kebohongan. Ini membunuh harapan banyak orang, terutama anak muda, untuk mewujudkan politik bersih yang menciptakan keadilan serta kemakmuran untuk semua.
Tiga, jelaslah, bahwa pemerintah totaliter bisa bangkit di Indonesia. Kita bisa kembali menjadi negara totaliter dibawah pemerintahan rezim korup dan busuk. Demokrasi dan konstitusi diinjak atas nama kekuasaan. Ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan pun menjadi aroma utama bangsa kita, jika itu terjadi.
Empat, keadaan ini bisa juga dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Mereka menyerang pemerintahan yang sekarang berkuasa, lalu mendirikan rezim korup versi mereka sendiri. Dua bulan belakangan, begitu banyak kaum radikal dan teroris ditangkap. Mereka memang mencium lemahnya politik bangsa ini, lalu siap melakukan kekerasan untuk melenyapkannya.
Lima, saya teringat Tan Malaka, salah satu pemikir terbesar Indonesia. Ia melihat, salah satu alasan lemahnya bangsa ini adalah karena berkembangnya mental feodal. Mental feodal adalah mental manusia yang rindu untuk dijajah. Mereka melihat orang-orang tertentu sebagai istimewa, sehingga layak disembah, layaknya Tuhan.
Enam, semua ini terjadi, karena ingatan kolektif kita sebagai bangsa pendek. Kita tidak belajar dari sejarah. Bahkan, kita lebih suka menipu diri sendiri, dan melupakan sejarah. Akibatnya, kita kembali mengulang kesalahan yang sama, seperti membuka ruang bagi bangkitnya rezim totaliter korup yang baru.
Tujuh, sebagai rakyat, kita perlu untuk terus bersuara. Kita perlu terus menanggapi secara kritis sikap rezim totaliter ini. Argumen kritis perlu terus disuarakan di ruang publik. Manuver hukum dan politik perlu terus dilakukan, supaya cita-cita rezim busuk ini bisa gagal.
Delapan, masyarakat pun harus memberi pelajaran politisi busuk macam ini. Ketika pilpres tiba, jangan pilih mereka. Biarkan persekutuan nista ini terkubur oleh kebusukan mereka sendiri. Persekutuan nista antara penculik dan pengkhianat, hasil kerakusan dan mental dinasti korup, tak boleh mendapat tempat di negeri ini.
Sembilan, pilpres Indonesia 2024 bisa dijadikan saat pembelajaran yang berharga. Politik dinasti, pengkhianatan dan kerakusan tidak akan berbuah apapun di negeri ini. Jika ingin berkuasa, orang harus memiliki rekam jejak yang nyata, serta kematangan pribadi yang sudah terbukti. Pasangan capres dan cawapres dari kubu sebelah kiranya memiliki itu, walaupun tak sempurna (tak ada yang sempurna di dalam politik praktis).
Persekutuan nista harus dibantai sejak awal. Ia harus dihina dan dicerca dari segala penjuru. Sebagai rakyat, kita harus berani menegaskan, tak ada tempat untuk nafsu busuk berkuasa dan pengkhianatan dari bocah ingusan. Sambil mencerca persekutuan nista, kita tetap membangun republik ini, dan, pada waktunya nanti, memilih dengan menggunakan akal sehat serta kejernihan nurani.***