Implikasi Putusan MKMK jika “Ketua MK dan Hakim Terbukti Melanggar Etik”: PENCALONAN CAWAPRES GIBRAN TIDAK SAH, DAN PERKARA DIPERIKSA KEMBALI OLEH HAKIM MK YANG BERBEDA
Oleh: Dr. T. Mangaranap Sirait, S.H.,M.H.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akhirnya selesai melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan (preliminary examination) atas semua pihak terkait dugaan pelanggaran etik Ketua MK dan hakim Konstitusi atas putusan blunder MK yang mengabulkan gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal capres-cawapres.
Perkembangan pemeriksaan MKMK ini memang perlu dikaji terus agar masyarakat teredukasi dan tidak terpesona dengan fotamorgana politik oleh pihak tertentu yang mencoba “tebar pesona seolah-olah Indonesia baik-baik saja” untuk mengalihkan perhatian masyarakat sehingga melupakan skandal besar konstitusi, padahal putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah skandal blunder terbesar sepanjang MK berdiri dan menjadi preseden buruk di masa depan.
Putusan Yang Tidak Sah, Tidak Final dan Binding (Mengikat)
MKMK kini sedang bekerja, Implikasi jika dalam Putusan MKMK dinyatakan ada pelanggaran etik dalam bentuk apapun yang berujung sanksi baik berupa teguran atau pemberhentian dengan tidak hormat Ketua MK atau Hakim MK, maka putusan 90/PUU-XXI/2023 yang awalnya sudah Final dan Binding (mengikat) tersebut menjadi Tidak Sah menurut Pasal 17 ayat (6) dan (7) UU Kekuasaan Kehakiman.
Guna menjembatani diskursus berkepanjangan atas “final dan binding”, maka walaupun tidak persis, penulis menganalogikan, Putusan Wasit yang menyatakan goal dalam suatu pertandingan sepakbola saja, sesuai aturan FIFA dapat dianulir (dianggap tidak pernah ada/shall be null and void), jika hakim garis atau pemain, atau official lainnya ada yang protes goal tersebut curang, maka Wasit tersebut harus melihat peristiwa aktual sebenarnya melalui Video tayang ulang yang disediakan panitia agar dapat membuat putusan yang lebih akurat. Kalau terbukti goal karena curang maka goal tersebut tidak sah dan/atau goal tersebut dianulir (dianggap tidak pernah ada). Apalagi ternyata terbukti justru Wasitnya sendiri yang menggolkan ke gawang lawan karena ada keponakannya ikut bermain, bukan hanya dianulir tetapi Wasitnya juga harus diberi sanksi berat dan diberhentikan, namun pertandingan jalan terus dipimpin wasit baru.
Oleh karena itu agar dinyatakan tidak kalah dengan wasit sepakbola, maka guna menjaga marwah Hakim yang putusannya berdiri di atas kebenaran mewakili Tuhan Y.M.E. sehingga dipanggil dengan sebutan “Yang Mulia”, sudah dari sejak lama diatur dalam Pasal 17 ayat (6) dan (7) UU Kekuasaan Kehakiman yang juga mengikat Hakim Konstitusi, yang pada intinya menyatakan “Dalam hal terjadi pelanggaran hukum atau etik seperti “Ketua MK mengadili perkara keluarga sendiri”, dan “mengadili perkara MK yang sudah kadaluarsa (tidak memenuhi syarat formil)”, “membuat putusan MK yang isinya terlarang (vermoden)” sebagaimana adagium “Judicis Est Jus Dicere, Non Dare (Tugas hakim adalah menegakkan keadilan/menegatifkan, bukan membuat undang-undang/menpositifkan), maka putusan MK tersebut dinyatakan tidak Sah (ongeldigheid) dengan sendirinya, dan terhadap hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Perkara diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda atau hakim dinyatakan lolos dari sidang etik MKMK.
Suatu putusan menjadi final dan binding (mengikat), hanya jika terpenuhi prosesnya secara materiil dan formil, dan jika tidak, bagaimana mungkin sesuatu yang tidak sah menjadi mengikat, dan kalau tidak mengikat bagaimana mungkin menjadi final, dan karena tidak final maka harus mundur/kembali kepada norma semula sebelum dimohonkan.
Karena itu, putusan hakim dalam putusan 90/PUU-XXI/2023 yang menyimpangi hal-hal yang prinsip dalam hukum materiil dan formil, jelas putusan tersebut melanggar hukum, sehingga otomatis merupakan pelanggaran etika, dan akibatnya menurut UU Kekuasaan Kehakiman menjadi putusan yang tidak Sah (ongeldigheid), dan implikasinya norma UU yang diuji terhadap UUDNRI 1945 kembali ke posisi semula karena batal demi hukum (shall be null and void) atau tidak ada perubahan atau normanya kembali ke bunyi undang-undang awal, ketika diajukan permohonan yaitu Usia Capres/Cawapres dalam UU Pemilu tetap seperti semula dalam Pasal dalam 169 huruf q UU Pemilu yaitu “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dan implikasi hukumnya pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo menjadi tidak sah, karena tidak memenuhi usia sebagaimana disyaratkan oleh UU Pemilu.
Putusan 90/PUU-XXI/2023 Preseden Buruk buat Demokrasi
Putusan final dan binding (mengikat) akan berlaku jika perkara diperiksa dan diputus dengan asas kebenaran menurut hukum materiil dan formil, apalagi di kepala Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 ada berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, maka isi putusan tidak boleh dipermain-mainkan. Albert Einstein saja yang logika keilmuannya berbeda dengan logika hukum mengatakan bahwa “Tuhan tidak pernah bermain dadu (God Never Play Dice)”. Karena itu bagaimana logika hukumnya jika Putusan MK yang berdasarkan Ketuhanan Y.M.E. dipermain-mainkan, sudah pasti lah melanggar hukum, etika dan nilai-nilai Ketuhanan, dan akan menjadi preseden buruk kedepannya bagi bangsa ini.
Disamping itu ada adagium yang mengatakan “Judicis est in pronuntiando sequi regulam exceptione non probate” yang artinya “Dalam membuat keputusan, hakim wajib mengikuti peraturan, lain halnya jika ada kekecualian”, namun kekecualian disini maksudnya adalah Undang-undang Khusus (Lex Specialis), bukan termasuk khusus jika subjek hukum yang diperiksa adalah Gibran Rakabuming Raka keponakan ketua MK ipar kandung dari presiden Jokowi, sebagai kekecualian sehingga harus diadili secara berbeda. Inilah nalar hukumnya.***