Naskah Akademis Program “IKN” Presiden Jokowi Diduga Kuat Plagiat?, “Beranikah DPR Interpelasi..”
Oleh : Dr. T. Mangaranap Sirait, S.H.,MH.
Tulisan ini dibuat berdasarkan kajian ilmiah yuridis empiris, bermula ketika penulis diminta turut menjadi narasumber dengan beberapa rekan mewakili Organisasi Profesi Advokat dalam RDPU PANSUS DPR untuk memberi masukan atas Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU-IKN) pada Minggu, 12 Desember 2021 jam 14 s.d. selesai, bertempat di ruang rapat Pansus B Gedung Nusantara II DPR RI lantai 3, yang turut dihadiri undangan beberapa Guru besar dan para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memberi masukan dan didengar pendapatnya.
Setelah mempelajari Naskah Akademis RUU-IKN yang dibagikan, penulis kaget dan risau juga membaca isi Naskah Akademis RUU-IKN yang dibagikan, di mana gagasan IKN yang digadang-gadang sebagai gagasan revolusioner tetapi isi naskah akademisnya sangat paradoks dan gegabah secara keilmuwan (scientifically premature). Karena itu setelah tiba giliran berbicara, dalam RDP tersebut penulis memberi masukan dan menyampaikan kepada PANSUS DPR agar sebaiknya segera mengembalikan Naskah akademik tersebut kepada pemerintah/Presiden Jokowi sebagai pengusul, karena menurut penulis bagaimana mungkin Pansus DPR menyetujui gagasan IKN yang seolah-olah revolusioner tetapi baru dilihat dari metodologi penelitian dan isi Naskah Akademisnya saja kurang memenuhi syarat ilmiah, terlebih lagi syarat kajian filosofis dan sosiologis mengapa perlunya dibuat UU IKN sangat dangkal hanya berupa “social engineering” tidak sebagaimana seharusnya menurut UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu menurut penulis isi Naskah Akademis RUU-IKN dan daftar Pustaka yang dikutip sebagai data sekunder tidak relevan lagi dipakai untuk membangun Ibu Kota Modern, karena sumbernya dari literatur-literaturnya sangat tua seperti karya Ebenezer Howard yang pertama kali dipublikasikan tahun 1876 yang berjudul “Garden cities of tomorrow” , dan buku tua karya Burhan dan Bennet tahun 1910 yang diterapkan dalam membangun Chicago, padahal sekarang ini Chicago sudah dijuluki sebagai “kota tikus” dan sedang banyak menghadapi masalah air dan lingkungan hidup yang tidak kunjung terselesaikan. Apalagi salah satu kota yang mau ditiru dalam IKN tersebut juga adalah kota Abuja ibukota baru Nigeria yang dalam berbagai artikel Jurnal Internasional sudah dikritik menimbulkan berbagai masalah sosial dan pembangunan di Nigeria.
Setelah penulis memberi masukan pada RDP UU-IKN DPR tersebut, RDP yang tadinya berjalan lancar seketika menjadi “sedikit ricuh” karena angota DPR peserta rapat protes kepada narasumber dan agar tidak menggurui dengan masukan seperti itu. Atas penolakan tersebut kericuhan akhirnya semakin memuncak karena salah satu Guru besar dari disiplin ilmu lain juga membela penulis, dan mengingatkan para anggota DPR bahwa mendengarkan para narasumber adalah kewajiban DPR sebagai salah satu syarat formil pembentukan Undang-undang, dan kalau tidak tidak bersedia mendengar, maka DPR tidak perlu mengundang para ahli.
Kericuhan kecil tersebut akhirnya berakhir setelah anggota DPR dari Fraksi PDI dengan sangat bijaksana mendatangi tempat duduk penulis dan tim ahli dari Advokat dan menyatakan akan menampung saran tersebut, dan saat itu penulis mengucapkan terima kasih kepada anggota DPR dari PDIP tersebut secara pribadi.
Hal-hal lain yang juga sangat memprihatinkan penulis tentang RUU-IKN tersebut, di mana esensi kajian sosiologis dan filosofis dalam Naskah Akademik sangat tidak terpenuhi, sebab semua literatur yang jumlahnya 17 (tujuh belas) buku-buku bahan hukum sekunder yang dikutip dan dijadikan sebagai rujukan dalam daftar Pustaka semua berasal dari buku-buku asing, dan tidak ada satupun memuat buku bahasa Indonesia sebagai data sekunder. Bagaimana mungkin suatu Naskah Akademis RUU-IKN tidak mengutip satupun literatur nasional sebagai data sekunder padahal yang mau dibuat adalah Undang-undang Indonesia ?. Oleh karena itu sebenarnya saran penulis kepada Pansus RDP RUU-IKN atas naskah akademis tersebut sangat beralasan dan saintific , karena sudah pasti tidak memenuhi syarat sosiologis dan filosofis, dan pekat dengan aroma cita rasa asing, serta sama sekali tidak bercitarasa Indonesia dan cita rasa Pancasila, karena semua literatur di daftar Pustaka di Naskah akademis tersebut buku-buku asing.
Bahkan setelah penulis meriset secara random untuk mengetahui apakah Naskah Akademis RUU-IKN tersebut benar-benar secara sahih (valid) mengutip Jurnal dari salah satu buku yang terdapat di daftar Pustaka, seperti karya “Bartolini, S. (2005). Restructuring Europe. Centre Formation, System Building, and Political Structuring between the Nation State and the European Union. New York: Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/0199286434.001.0001”, ternyata sesuai data yang penulis telusuri dari “Scientifyc Research” tidak ditemukan ada catatan kutipan (citation) yang menunjukkan Naskah Akademis RUU-IKN yang ditandatangani Menteri/Kepala BAPPENAS Juni 2021 mewakili Presiden Jokowi tercatat sebagai pengutip (citation), dengan demikian sesuai ketentuan ilmiah patut diduga pengutipan Bartolini,S (2005) dalam Naskah Akademis RUU-IKN tersebut adalah plagiat atau menjiplak tanpa ijin dari Bartolini atau penerbit Oxfor University Press Newyork.
Selain itu ternyata kerisauan penulis atas gagasan IKN Presiden Jokowi tersebut juga tidak bertepuk sebelah tangan, sebab ternyata berbagai media asing dan lokal sangat skeptis menyoroti dan mengkritik IKN, antara lain seperti menganggap proyek memindahkan ibu kota Indonesia dari Jakarta Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan sangat ambisius dan tidak demokratis, serta tidak melalu konsultasi publik yang memadai sebagaimana yang dialami sendiri oleh penulis sebagai Narasumber RDP yang tidak ditindaklanjuti masukannya pada saat RDP RUU-IKN, IKN juga ditenggarai akan sarat dengan sengketa lahan di mana masyarakat adat dan masyarakat asli akan tersingkir, berbagai Issu Lingkungan Hidup, Uang pembangunannya juga dengan memajaki rakyat lebih tinggi, serta media asing khawatir atas investasi China di IKN menurut para kritikus menjadikan Nusantara sebagai “Beijing Baru” (ibu kota Republik Rakyat China ke-2 ) menurutnya.
Karena itu kesimpulan dalam Naskah Akademis yang menyimpulkan sepertinya ada urgensi untuk memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke kalimantan secara Logika Hukum merupakan kesimpulan yang disebut “Ignorancy Elenci” atau kesimpulan yang tidak relevan (Irrelevan Conclusion), sebab antara data-data primer dan data sekunder yang dikaji tidak relevan dengan kesimpulan yang dibuat.
Oleh karena itu, sebenarnya IKN ini untuk kepentingan siapa, kenapa tanah-tanahnya diobral ke Investor asing dengan alasan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP), dan kalau naskah akademis dalam pembentukan Undang-undangnya saja secara akademis tidak layak dipercaya (unreliable), bagaimana mungkin programnya dapat dipercaya ?. Jadi karena program IKN ini berdampak luas terhadap masyarakat dan generasi muda di masa depan maka kebijakan Presiden Jokowi ini perlu ditanyakan melalu Hak interpelasi DPR, misalnya pembangunan IKN pakai uang siapa dan apa jaminannya ?, jangan sampai nanti IKN hanya supaya “Presiden Jokowi kesohor” tapi di masa depan “rakyatnya yang tekor”, sebab ada agium mengatakan “potential non est nisi ad bonum” artinya “kekuasaan di berikan untuk kebaikan public”, bukan untuk kebaikan pribadi. Beranikah DPR Interpelasi ?? ***