Putusan MK Perkara No. 90/PUU-XXI/2023 Terkait Usia Minimal Capres/ Cawapres: “BLUNDER TERBESAR SEPANJANG SEJARAH MAHKAMAH KONSTITUSI”
Oleh : Dr. T. Mangaranap Sirait, S.H.,M.H.
Dua dasawarsa sudah Mahkamah Konstitusi R.I. berdiri (13 Agustus 2003), dan kini kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap Hakim MK berada pada titik nadir atau kondisi terendah sepanjang sejarah MK berdiri. Telah diputusnya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal Capres/Cawapres pada UU Pemilu dikabulkan oleh MK pada (Senin 16 Oktober 2023) dan memutus Capres/Cawapres yang pernah terpilih melalui Pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun, karena tatacara mengadili (formil) dan isi putusan tidak sesuai ketentuan, sehingga secara keilmuwan merupakan putusan blunder terbesar dan keterpurukan konstitusi sepanjang sejarah berdirinya MK.
Blunder demi blunder yang sangat prinsipil dilanggar Ketua MK dalam perkara dimaksud berupa, Blunder terbesar Pertama, Ketua MK melakukan pelanggaran berat karena “mengadili perkara keluarga sendiri” yang dilarang (Vermoden) menurut Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya menyatakan “Ketua Majelis, hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera”.
Perbuatan mengadili perkara keluarga sendiri ini adalah hal yang paling dihindari oleh seluruh insan Hakim di Peradilan Indonesia, sebab adalah tidak benar mengadili perkara sendiri (iniquum est aliquem rei sui esse judicem). Namun sebaliknya Ketua MK secara sadar dan sengaja sebagai hakim yang notabene ipar kandung Jokowi sehingga memiliki hubungan keluarga langsung sebagai Paman dengan Gibran Rakabuming Raka yang menjadi Subjek hukum dalam perkara dimaksud, namun Ketua MK tidak mengundurkan diri sebagaimana seharusnya bahkan mengambil alih membaca amar putusan, hal ini merupakan kelengahan yang besar yang setara dengan kesalahan yang disengaja (lata culva dolo aequiparatur). Adagium Lata culpa aequiparatur dolo maksudnya kelalaian berat sama dengan penipuan dan perbuatan melawan hukum yang disengaja, atau Kelalaian besar adalah kecerobohan yang serius.
Pelanggaran atas mengadili perkara keluarga sendiri ini merupakan pelanggaran etik berat poin Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dalam Sapta Karsa Hutama, dalam bentuk pelanggaran Prinsip Indepensi (independence) di mana Hakim konstitusi harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah, serta Kode Etik Kedua Prinsip Ketidak Berpihakan, (impartiality) yang penerapannya dalam poin Nomor 5 huruf b berbunyi Hakim konstitusi “kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan” harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan, Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.
Blunder terbesar Kedua yang dilakukan Ketua dan Hakim MK adalah “mengadili perkara yang sudah pernah dicabut sehingga tidak memenuhi syarat formil lagi untuk diputus”, sebab Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Nomor 91/PUU-XXI/2023 telah dicabut oleh Kuasa Hukum Pemohon pada Jumat, 29 September 2023 sehingga otomatis tidak memenuhi syarat formil karena terlanjur kadaluarsa, dan tidak boleh diputus lagi walau dengan alasan apapun, termasuk alasan Pemohon telah membatalkan penarikan atau pencabutan kedua perkara tersebut Sabtu 30 September 2023, tetap saja otomatis tidak memenuhi syarat formil karena alasan kadaluarsa tersebut. Karena itu tindakan ketua MK yang memutus perkara tersebut pada hari Senin secara ilmu hukum merupakan logika yang sesat (fallacia relevance) karena memutus perkara yang sudah kadaluarsa. Putusan ini merupakan pelanggaran berat atas Pasal 35 ayat (2) UUMK yang berbunyi “Penarikan kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan Kembali”.
Perbuatan sengaja memutus perkara yang sudah dicabut sehingga tidak memenuhi syarat formil merupakan pelanggaran atas Kode Etik Keenam yaitu “Prinsip Kecakapan dan Keseksamaan (competence and diligence), sehingga berdasarkan Pasal 27A UUMK dan patut diberi sanksi berat berupa pemberhentian.
Blunder terbesar Ketiga, yang dilakukan Ketua dan Hakim MK adalah pelanggaran atas isi putusan yang telah diatur sebagai larangan (verboden) untuk dimuat dalam isi amar putusan MK sebagaimana Pasal 57 ayat (2a) di mana jika amar Putusan MK menyatakan sebagaimana ayat (1) yaitu materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian UU bertentangan dengan UUDNRI 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka sesuai ayat (2a) Putusan MK tidak boleh (Vermoden) memuat: a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); b. perintah kepada pembuat undang-undang; dan c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perbuatan sengaja memuat isi amar putusan yang terlarang (vermoden) juga merupakan pelanggaran atas Kode Etik Keenam yaitu “Prinsip Kecakapan dan Keseksamaan (competence and diligence), sehingga berdasarkan Pasal 27A UUMK dan patut diberi sanksi berat berupa pemberhentian.
Dengan demikian apapun alasan Ketua dan Hakim MK memutus perkara dimaksud, maka secara keilmuwan putusan tersebut merupakan blunder terbesar sepanjang dua dasawarsa MK, dan karena dalam sistem hukum Civil Law dikenal adagium hukum yang mengatakan magna negligentia culva dolus est yang artinya “Kealpaan besar adalah salah, dan kesalahan besar adalah penipuan” implikasinya walaupun sudah mengikat (binding) putusan tersebut tidak sah dan hakimnya dapat diberi sanksi administratif atau dipidana sesuai perundang-undangan.
Untuk itu kiranya Dewan Etik Hakim Konstitusi yang diketuai Jimly Asshiddiqie, Wahiduddin Adams, dan Bintan R. Saragih yang menjalankan tugasnya memeriksa laporan pelanggaran etika yang diajukan beberapa pihak atas putusan tersebut, menjalankannya dengan amanah, karena masyarakat akan menunggu hasilnya, sebab “politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya {Politiae legius non leges politii adoptandae) “.***