Siapa Berwenang Menyatakan Kerugian Negara?
Britanasional – Jakarta, Penghitungan kerugian keuangan negara kerap menjadi polemik dalam sidang perkara korupsi.
Permasalahan yang kerap muncul lembaga mana yang sebenarnya paling berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara.
Selama ini, penuntut umum acapkali menggunakan hasil penghitungan kerugian keuangan negara dari dua lembaga untuk membuktikan unsur kerugian keuangannegara dalam kasus korupsi. Kedua lembaga dimaksud adalah BPK dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Hasil audit atau nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang berasal dari instansi yang berwenang menghitung kerugian negara menjadi alat bukti yang paling penting dalam kasus tindak pidana korupsi, dimana besar kecilnya kerugian negara akan menjadi salah stau faktor penentu terhadap beratnya tuntutan jaksa ataupun vonis hukum.
Mari kita lihat peraturan terkait kewenangan penghitungan kerugian keuangan negara dimaksud.
Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 1 angka 1 UU 15/2006 yang menyebutkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut, Pasal 10 UU 15/2006 menyebutkan: ayat (1): BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara atau daerah.
ayat (2): Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.Merujuk pada ketentuan tersebut, BPK berwenang memberikan penilaian, menetapkan, dan memutuskan adanya kerugian keuangan negara/negara.
Terkait dengan BPKP, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan(Perpres 192/2014), BPKP merupakan aparat pengawasan intern pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional.Dalam melaksanakan tugasnya, BPKP menyelenggarakan fungsi antara lain pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi (Pasal 3 huruf e Perpres 192/2014).
Menyikapi polemik tersebut diatas, dalam hal lembaga mana yang berwenang dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 4/2016), yaitu dalam rumusan hukum keenam dari 8 (delapan) rumusan hukum dalam Rumusan Hukum Kamar Pidana merumuskan berikut: “Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara”.
Disisi lain pengacara senior asal Jambi, Ardi SH, MH, menyatakan bahwa kewenangan Lembaga Kejaksaan sebagai Penyidik hanya terbatas dalam tindak pidana Korupsi. Sedangkan tindak pidana korupsi bukan hanya dilihat dari hanya satu sisi yaitu adanya Kerugian Negara tapi harus di lihat dari perbuatannya melawan hukumnya dalam Pengertian Formal, tidak dalam pengertian Materiil, jika pengertian Melawan hukum diartikan dlm pengertian Materil, maka semua perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian Negara dapat dijadikan sebagai Tindak pidana Korupsi.
Ardi memberikan ilusrasi seorang mencuri peralatan kantor pemerintahan, akibat dari perbuatan pencurian tersebut tentunya merugikan negara namun perbuatannya mencuri yang sudah diatur khusus dalam KUHP, tapi jika dilihat dari perbuatan melawan hukum dalam arti materil maka perbuatan pencurian tersebut tidak dapat disidik oleh Jaksa sebagai perbuatan tindak pidana korupsi. Sebab apabila hal seperti ini terus diterapkan maka semua tindak pidana yang meninbulkan kerugian negara tentunya bisa dijadikan tindak pidana korupsi, ini dapat menimbulka n tidak adanya kepastian hukum, selain itu lembaga kejaksaan bisa mengambil kewenangan lembaga kepolisian.***
Penulis: Jimmy Endey SH.